Senin, 02 Maret 2009

Bila Cinta Mengapa Harus Menyakiti

Ini bukan cerita orisinil dari penulis
tapi mungkin ini dapat berguna bagi para orang tua yang masih memiliki putra-putri nya agar dapat menjaga dan menyayangi sepenuh hati...
Namun demikian tidaklah layak bagi orang tua yang suka memperlakukan kasar buah hatinya...
lebih lebih mempermalukannya didepan orang lain..
apakah demikian seorang manusia yang dianugerahi anak sebagai titipan...

KISAH ini terjadi Sabtu awal bulan ini, ketika aku sengaja mengajak Renza dan si kecil ‘bersantai-ria’ guna mencari alasan agar tidak ke halalbihalal. Setelah siang berenang, petang kami jalan-jalan di mall dan berakhir di play land.

Menjelang malam, ketika semua sudah capek, kami memutuskan ke restoran untuk memberi si kecil makan. Berdasarkan pengalaman, jika sudah capek dia tertidur di mobil dan akan sukar membangunkan jika sudah di rumah. Dia bisa rewel dan bisa-bisa malam itu dia tak makan.

Di restoran kami memesan nasi goreng untuk si kecil. Aku dan Renza mencicipi jus. Ketika kami sedang memperhatikan si kecil (yang seperti biasa menolak disuapi dan makan sendiri, walau nasi goreng yang tercecer lebih banyak dibanding yang masuk ke mulutnya), tiba-tiba terdengar…

Gubraaakkk…….

Satu botol minuman ringan bersoda pecah di lantai, persis di sebelah kami. Seorang anak perempuan berusia 10-11 tahun nampak duduk dengan wajah pucat pasi. Rupanya anak itu yang tanpa sengaja menjatuhkan botol minuman. Anak itu duduk dekat seorang ibu cantik berusia 30-an.

Botol jatuh dan pecah di restoran itu biasa. Yang tidak biasa adalah reaksi ibu yang duduk dekat si anak. Sambil menggerutu dan setengah memaki dia… mencubit lengan si gadis cilik. “Kamu buta apa? Kamu malu-maluin…” Bisik si ibu sambil mencubit.

Anak itu meringis dan meminta maaf. “Aku gak sengaja mama… maaf…”

Namun si ibu makin meradang. Kali ini cubitannya mampir di pinggang. Dua kali. Si gadis cilik yang kesakitan akhirnya tak mampu menahan air matanya. Melihat anaknya menangis, si ibu makin naik pitam. Dia menjentikkan (atau menyentil? Aku tak tahu pasti istilahnya, yakni perbuatan yang dilakukan dengan didahului mempertemukan jari tengah dengan ibu jari, dan jari tengah itu yang dipukulkan…) ke pipi si gadis cilik. “Diam kamu!!! Kamu bikin malu saja…”

Aksi si ibu sadis rupanya juga diperhatikan sejumlah pengunjung lain. Seorang perempuan, berusia sekitar 50-an tahun tiba-tiba menyela… “Bu… sudahlah bu… kan anaknya gak sengaja…”

Mendapat nasehat orang lain, amarah ibu itu tak juga surut. Dia kembali menghadiahkan cubitan ke pinggang. “Mama bilang diam… Kamu memang bikin malu….”

Renza yang sejak tadi diam akhirnya tak tahan. “Sudahlah mbak… Minuman itu juga kan dibayar. Jadi gak apa-apa mbak… Lagian dia gak sengaja… Beda kalo dia memang sengaja menjatuhkan ato melempar botol itu ke lantai… Itu baru nakal….”

Mungkin karena sudah ditegur dua orang, si ibu itu malu sendiri. Sambil mendelikkan mata dia berbisik kepada putrinya agar menghabiskan makanannya. Si gadis cilik itu sambil tersedu mencoba makan.

Dalam perjalanan pulang, peristiwa ’sadis’ itu kami diskusikan. “Aku gak percaya ada ibu yang sesadis itu pada putrinya sendiri,” kata Renza.

Aku mengangguk setuju. “Dia merasa malu. Dan untuk menutupi itu dia sengaja bersikap kejam…”

“Tapi kenapa? Apakah karena malu kita harus menyakiti anak kita?” kata Renza. Dia lalu mendekap kuat-kuat si kecil yang sudah tertidur pulas. “Aku tak dapat membayangkan kalau kelak aku melakukan hal yang sama pada si kecil….”

Aku tersenyum. Aku tak percaya kalau Renza kelak akan menjadi sesadis itu. Aku teringat dulu, ketika si kecil masih bayi, bagaimana Renza murka ketika mendapati di pipi si kecil ada benjolan kecil tanda digigit nyamuk. Renza saat itu langsung menyatakan perang, dan memburu para nyamuk!! (Karena itu ketika aku membaca salah satu postingan pinky tentang Daren yang digigit nyamuk, aku tak terlalu heran. Semua ibu akan murka jika anaknya digigit nyamuk).

Aku bertanya-tanya, apakah ibu sadis di restoran juga melakukan hal yang sama ketika anaknya masih bayi? Melindungi dengan segenap hati dan murka ketika anaknya digigit nyamuk? Kalau ya, kenapa setelah anaknya mulai besar sikapnya berubah? Kalau benar-benar cinta, kenapa menyakiti?

Sampai sekarang wajah anak kecil itu, yang pucat pasi, yang matanya dipenuhi air mata, yang tersedu-sedan, masih terbayang.

Aku sedih karena aku tahu, anak kecil itu punya banyak teman senasib. Yang disakiti oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi dan menjaga. Disakiti oleh orang yang seharusnya mencinta…..

1 komentar:

Elsa mengatakan...

kalo menyakiti ya bukan cinta namanya!!!